Blog Tuttorial Tips dan Update Informasi

Lazada Indonesia

Numpang Nampang Ala Caleg Pemilu Yang Gak Punya Malu

Tak terasa lima tahun hampir berlalu, Pemilu 2014 pun sudah di depan mata, KPU maupun KPUD telah memutuskan Daftar Calon Tetap (DCT) untuk Pemilu akan datang, bahkan ketika Daftar Calon Sementara (DCS) telah di rilis oleh KPU/KPUD, para Kontestan sudah mulai sibuk berbenah diri melalui pencitraan. Yang Sedang duduk sebagai anggota dewan merasa tak ingin kursi empuknya tak di peroleh kembali, sementara para pendatang baru dengan percaya dirinya memberanikan diri bertarung di arena sebesar Pemilu ini. Dengan hanya berdasarkan modal uang semata, mereka berjuang untuk memperkenalkan dirinya lewat ribuan spanduk maupun poster yang sudah bertebaran di seluruh negeri. Dinding-dinding menjadi korban estetika, pohon-pohon pun menjadi tumbal dari numpang nampangnya para caleg.

Melalui iklan, khususnya dalam bentuk baliho atau poster, para caleg berusaha menarik perhatian calon pemilih agar memilih dirinya dan ’kendaraan’ yang membawanya. Iklan-iklan ini gampang ditemui di persimpangan jalan dan jalan-jalan yang strategis lainnya.
Tak jelas, apakah pemasangan ribuan foto diri lewat baliho ukuran besar tersebut mengindikasikan sang tokoh telah terjangkit narsisme yang akut. Gejalanya, tak perduli terpilih atau tidak terpilih sebagai calon  yang penting foto diri telah bertebar di mana-mana, yang penting tambah terkenal. Semua baliho di samping terpampang foto diri, juga ada slogan-slogan yang mempromosikan janji-janji politiknya. 


Promosi politik untuk mendongkrak citra diri melalui baliho sepertinya menjadi "penyakit baru" yang melahirkan dekadensi moral bagi mereka yang berambisi menjadi kepala daerah ataupun Caleg. Tak perlu memiliki visi dan misi yang logis, cukup dengan memajang gambar diri dengan senyum lebar tanpa dosa ditambah janji-janji, maka seseorang sudah bisa mengaku diri sebagai calon pemimpin masa depan.

Kurang Efektif dan Terkesan Numpang Nampang

 
Para calon kontestan pada dasarnya memasang baliho adalah untuk memperkenalkan diri. Hal ini sebenarnya memalukan sekali. Itu berarti menunjukkan bahwa orang tersebut boleh jadi satu atau lebih dari tiga hal ini. Pertama, orang tersebut tidak dikenal, kedua tidak terkenal atau ketiga orang tersebut tidak berarti bagi rakyat di daerah ini. Jika tetap ngotot dengan politik pencitraan lewat baliho berarti orang tersebut memaksakan diri untuk dikenal dan terkenal padahal sebenarnya tidak.


"Kok hari gini baru mengenalkan diri kepada rakyat?" Kalau memang Anda di hati rakyat, yang sudah terbukti pengorbanan dan kontribusinya kepada masyarakat, tidak perlu baliho pun rakyat sudah memperkenalkan anda dari mulut ke mulut, bahkan dari hati ke hati. Bukan saatnya lagi pemimpin tebar pesona dengan politik baliho. Percuma pasang itu semua di mana-mana, namun rakyat hanya tahu nama, tapi tidak tahu prestasinya apa, rekam jejaknya bagaimana.


Baliho merupakan bentuk komunikasi dengan public, lebih tepatnya baliho sebagai sebuah sarana pemasaran dalam hal ini pemasaran diri para caleg. Kata ahli pemasaran Al Ries dan Jack Trout dalam bukunya Horse Sense : The Key to Success Is Finding a Horse to Ride (1991), “merupakan aktivitas pemasaran yang terpenting sekaligus yang paling sulit.”  Sejenak ketika kita mengamati spanduk para kontestan, sedikit saya bias tarik kesimpulan, bahwa sebagian besar para caleg itu tidak memahami strategi komunikasi pemasaran. Sehingga yang menonjol adalah sikap narsis, nafsu pemujaan terhadap diri mereka sendiri dan partai mereka. Yang mereka tonjolkan adalah nama partai, nomor partai, daerah pemilihan, nomor urut dirinya, foto, lalu janji-janji dan slogan kampanye mereka.


Tak ada data nomor telepon/HP atau email yang bisa mengundang konstituen untuk berinteraksi. Pesan-pesan mereka justru kebanyakan tidak berorientasi kepada sudut pandang sasaran kampanye mereka, yaitu para konstituen. Konstituen hanya diminta maklum akan janji-janji atau mantra-mantra “jual kecap” mereka. Pendekatan tersebut berakibat fatal.
Dalam dunia komunikasi dikenal rumus WIIFM (What’s In It For Me). Sekadar contoh, ketika menerima surat, sebelum membuka amplop, di benak Anda secara naluriah segera muncul pertanyaan WIIFM itu : adakah isi surat ini yang penting dan bermanfaat bagiku ?
Isi surat yang tidak memenuhi harapan itu, tentu saja mengecewakan penerimanya. Rumus ini berlaku universal. Kesimpulan saya : dalam berkomunikasi saja para caleg itu nampak kemaruk mementingkan diri mereka sendiri, apalagi bila kelak telah terpilih ? 


Masyarakat tentu tidak akan terkelabui oleh propaganda baliho yang dilakukan oleh para calon legislative  (caleg). Masyakat kita sudah mulai cerdas dalam menyikapi fenomena politik di negeri ini. Apa yang dipertontonkan para caleg, juga merupakan gambaran seberapa paham mereka akan apa yang mereka lakukan. Kita dapat mencermati beberapa Spanduk yang bertebaran ini, dalam penulisan gelar saja mereka banyak terjadi kesalahan, konon lagi kelak ketika mereka terpilih sebagai wakil rakyat. Bagaimana mereka mampu menjalankan fungsinya sebagai legislasi, anggaran dan pengawasan, ketika dalam hal memaparkan diri sendiri mereka saja mereka telah salah. 


Romain Lachat dan Pascal Schiarini (2002) berpendapat dalam buku, Do Political Campaigns Matter? Bahwa kampanye yang dilakukan dalam tenggat waktu singkat cenderung tak akan menyentuh para pemilih. Hal itu sepertinya tidak dipahami oleh para politisi di republik ini. Kecenderungan yang terjadi adalah mereka memilih berkampanye ala kadarnya. Apalagi mereka percaya bahwa bobot "uang kampanye" sangat menentukan keterpilihan. Itu sebabnya program yang dijalankan pun lebih kepada pencitraan. Baliho dan spanduk berserakan di mana-mana. Sekadar agar orang tahu bahwa dia ikut pencalonan. Setelah itu, menurut mereka, biarkan "uang" yang berbicara. Ironinya mereka tidak mengindahkan etika lingkungan, sosial dan keindahan kota.  Padahal kampanye dengan mengandalkan uang tak memberikan jaminan keterpilihan. Para pemilih memiliki logikanya sendiri. Hanya dengan program yang terencana dan bertahaplah membuat seseorang mampu dicintai oleh para pemilih. Prestasi kerja harus diraih jauh sebelumnya, rekam jejak telah terbukti sebagai orang yang bersih dan jujur.


Jika ia berasal dari golongan non-pemerintahan, jawabannya adalah kerja sosial yang sungguh-sungguh menyentuh publik pemilih. Ia kerja sosial, memberi bea siswa bagi anak miskin, bagi-bagi sembako atau mengadakan pengobatan gratis tidak hanya menjelang kampanye saja. Tapi kerja sosial tersebut telah ia lakukan rutin dan berkesinambungan bertahun-tahun sebelumnya. Modal sosial yang telah terbangun selama ini menjadi sebuah penentu bagaimana rakyat dapat memahami dan memilih wakilnya untuk duduk di kursi legislative. Maka berkoalisilah dengan rakyat, jangan hambur-hamburkan uangmu yang hanya akan menggodamu untuk melakukan korupsi di kemudian hari jika menjabat.

Pesan Untuk Sang Para caleg


Untuk para caleg kita yang akan bertarung dalam pemilu 2014 mendatang, bahwa modal menjadi pemimpin itu tak cukup hanya banyaknya materi, apalagi cuma pemasangan ribuan baliho. Diperlukan kecerdasan, kedisiplinan dan kegigihan yang luar biasa dalam mengurai benang kusut visi dan misi yang hendak dicapai agar tujuan bisa terwujud. Kampanye dengan menebar pesona melalui poster, stiker, baliho dan sejenisnya itu hanya menjadikan para kandidat bak selebritis, yang justru menjauhkannya dari calon pemilihnya. 


Cara ampuh yang ditempuh dengan masuk ke kampung-kampung, gang-gang sempit untuk bertemu langsung dengan masyarakat sebaiknya dilakukan oleh para kandidat yang akan berkampanye. Dengan demikian, para kandidat itu dapat mendengar langsung aspirasi, keluh-kesah, maupun apa yang dibutuhkan warga calon pemilihnya. Dalam kampanyenya juga, sebaiknya tidak mengumpulkan orang , tapi lebih mendatangi warga. Sehingga mampu memberi “kehangatan” dengan jiwanya yang mengayomi. Karena sudah saatnya para caleg tampil lebih smart dan elegan dengan menggali aspirasi calon konstituennya dan lalu memberikan solusi terhadap permasahalan yang dihadapi.
Akhyar Anshori
Dengan waktu yang masih relatif panjang, sekitar kurang lebih 7 bulanan lagi menuju pemilu 2014, sudah seyogyanya para caleg itu mulai mengisinya dengan berbagai langkah, tindakan yang langsung bersentuhan dengan masalah masyarakat. Kini berlomba-lombalah membangun rasa percaya diri masyarakat, kembangkan optimisme, tumbuhkan basis ekonomi kerakyatan, dan buka ruang-ruang demokrasi dari tingkat yang paling bawah. Sehingga akhirnya masyarakat akan mudah menilai siapa yang layak dipilihnya sesuai hati nurani.
Alihkan biaya produksi poster, stiker, baliho dan lain lain itu untuk modal usaha masyarakat paling bawah, menciptakan home industry misalnya, sehingga memotivasi warga untuk lebih kreatif, peduli lingkungan dan jauh bermanfaat untuk kemaslahatan masyarakat ke depannya. Tidak lagi menempel foto diri di pohon-pohon di sepanjang jalan. Akhirnya kepada yang terhormat para calon wakil rakyat, maupun calon pemimpin peserta pemilu, pastikan, dengan kepedulian terhadap persoalan masyarakat calon pemilih, dengan kerja nyata, dan pemberian solusi atas masalah yang dihadapi rakyat, wajah Anda akan tertanam di hati rakyat, bukan sekadar terpampang di poster, stiker, baliho dan lainnya.


*Penulis Adalah Mahasiswa S2 Prodi Magister Ilmu Komunikasi UMSU dan Pengurus Lembaga Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Penelitian CentralIndonesia. 


Tag : Ceritaku, Politik
0 Komentar untuk "Numpang Nampang Ala Caleg Pemilu Yang Gak Punya Malu"

Apa Komentarmu ?
Catatan :
1. Gunakan bahasa yang baik dan sopan dalam berkomentar
2. Berkomentar lah sesuai dengan tema artikel.
3. Dilarang menuliskan link aktif di kolom komentar, NO SPAM
4. Share this post G+1 sebagai support blogger Indonesia

Back To Top